Mengutip dari buku yang berjudul Sejarah Kota Padang yang disusun oleh Sofwan dkk, nama Padang berarti “dataran yang luas”. Kota Padang merupakan wilayah yang terdiri dari dataran rendah dan dikelilingi oleh perbukitan sehingga sebagian besar berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia (1987:1). Secara geografis, Kota Padang terletak di pantai barat pulau Sumatera antara 0o44′ dan 01o08′ Lintang Selatan dan 100o05′ dan 100o34′ Bujur Timur. Berdasarkan PP No. 17 Tahun 1980 Luas Kota Padang adalah 694,96 km2 atau 1,65% dari luas Provinsi Sumatera Barat. Kota Padang terdiri dari 11 kecamatan. Luas geografisnya terdiri dari 51,01% hutan lindung, 7,35% bangunan dan perkebunan, dan sisanya lahan pertanian dan pemukiman (Padang.go.id).
Sejarah Kota Padang bermula dari abad ke-15 bersamaan dengan sejarah Minangkabau dimana daerah ini awalnya merupakan pemukiman nelayan pada masa kekuasaan raja Adityawarman (Raja Minangkabau). Di Tambo Minangkabau, Padang disebut kawasan pantai. Orang pertama berasal dari Kubung XIII Solok Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah Datar dan Limo Puluh Kota). Namun ketika mereka tiba, ada juga penduduk asli yang mereka sebut orang Rupit dan Tirau. Artinya kelompok masyarakat tersebut sudah ada sebelum wilayah kerajaan Minangkabau meluas sebelum mereka tiba di Padang. Namun pada abad yang sama, Kerajaan Aceh juga mulai mengembangkan wilayahnya, terutama memperluas wilayah komersial.
Saat itu, kerajaan Aceh telah terbentuk. Mereka Pun berhasil menaklukkan Tiku, Pariaman dan Indrapura. Pedagang Tiku dan Pariaman singgah di Padang sebelum menuju Aceh. Saat itu, Kota Padang tidak sepenting Kota Pariaman yang saat itu ditunjuk oleh Raja Aceh menjadi markas panglima tertinggi bagi wilayah pesisir Sumatera Barat. Pada awal abad ke-14, VOC memulai aktivitasnya di Indonesia. Mereka datang ke Padang melalui Pulau Cingkuk. Kemudian, selang beberapa tahun, mereka juga membangun pemukiman yang sekarang disebut Batang Arau. Kawasan pemukiman tersebut kini juga berkembang menjadi kawasan Muara Padang. Sejak saat itu, Belanda mulai mempekerjakan pejabat perdagangan dan membangun gudang untuk menyimpan barang-barang mereka sebelum dikirim melalui pelabuhan Muara Padang. Menurut informasi yang diterima, nampaknya Belanda semakin meningkatkan aktivitasnya di wilayah ini dari tahun ke tahun. Sehingga, menjelang akhir zaman VOC tahun 1799, Padang sudah menjadi pelabuhan terpenting di pesisir barat pulau Sumatera yang juga dijadikan tempat pertemuan penduduk desa-desa sekitarnya yang hidup dari perdagangan Belanda. Selain Belanda, pedagang asing lainnya juga singgah di Padang. Beberapa di antaranya adalah Inggris, Prancis, Portugis dan Cina. Jadi, Kota Padang saat itu tidak hanya dihuni oleh pribumi, namun juga oleh beberapa orang asing. Dari desa nelayan, Padang berkembang menjadi pelabuhan komersial internasional.
Menjelang akhir abad ke-18, kota Padang hanya terdiri dari Batang Arau, Kampung Pecinan, Kampung Keling, Pasar Hilir, Pasar Mudik, Pulau Aia, Ranah Binuang, Alang Lawas dan Seberang Padang. Ketika pemerintah Belanda melalui de Stuers (1788-1861) menguasai Padang, kota ini diperluas ke utara hingga Nanggalo dan Ulak Karang, selatan hingga Teluk Bayur, timur hingga Lubuk Begalung, Marapalam dan Andalais. Pada masa ini terjadi masa peralihan dimana wilayah kekuasaan yang dijalankan oleh pangeran kemudian digantikan oleh wijk atau sistem pemerintahan desa. Penghulu Wijk tidak lagi menjadi kepala pemerintahan marga atau suku, tetapi untuk kota atau wijk. Setiap wijk yang diawetkan adalah:
Wijk I:
Desa Mata Air dan Desa Durian. Wijk II:
Puruksen, Damarin, Olon, Ujung Pandanin kaj Rimbo Kaluangin kylät.
Wijk III:
Javanesisches Dorf, Sawahan, Belantung, Terandam und Teak.
Wijk IV:
Pondok Pondok, nächstes Dorf, Berok, chinesisches Dorf und hinter Tangsi.
Wijk V:
Dorf Parak Gadang, Simpang Haru und Andalas.
Wijk VI:
Alang Lawas, Ganting, Ranah Binuang, Pasa Gadang, das Dorf Nias und Pagargam. Wijk VII:
Desa Teluk Bayur, Air Manis, Padang dan Teleng.
Wijk VIII:
Nanggalo dan Ulak Karang.
Pemekaran kawasan perkotaan selanjutnya kemudian diperluas membentuk Wijk IX, yaitu Lubuk Begalung, Sungai Barameh, Parak Laweh dan Gurun Laweh. Semua Panghulu Wijk ini tergabung dalam satu badan yang disebut Dewan Penghulu Wijk yang dipimpin oleh seorang penguasa yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Penguasa didampingi oleh seorang wakil. Pada tahun 1905, atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada bulan April 1905, ditetapkan batas kota Padang. Kemudian berdasarkan Surat Edaran Pemerintah Nomor 321 Tahun 1913, wilayah kota Padang dibagi menjadi beberapa kabupaten yaitu :
Kabupaten Dataran Tinggi
Kabupaten Batang Arau
Kecamatan Binuang
Pusat rumah
Kecamatan Pauh IX
Kecamatan Sungkai
Distrik 7 Lurah Pauh V
Ketujuh kecamatan tersebut disebut juga dengan Luhak dan dikepalai oleh seorang wakil presiden, namun dalam kehidupan sehari-hari disebut juga dengan Tuanku Luak. Yakni, selain ketujuh kabupaten tersebut, Kota Padang terbagi menjadi dua bagian; Padang Kota yang meliputi Kabupaten Tanah Tinggi, Batang Arau dan Binuang; dan Luar Kota Padang, d. H. Koto Tengah, Pauh IX, Sungkai and Pauh V. Ketika tentara pendudukan Jepang menyerbu negara itu pada 17 Maret 1942, Belanda meninggalkan kota Padang dengan panik. Pada saat yang sama, Soekarno terjebak di kota ini karena Belanda ingin membawanya dan melarikan diri ke Australia. Panglima tentara Jepang kemudian menemuinya di Sumatera untuk membicarakan masa depan Indonesia. Ketika Jepang mampu menguasai keadaan, kota ini dijadikan sebagai kota administratif untuk pembangunan dan pekerjaan umum.
Berita kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak sampai ke kota Padang hingga akhir Agustus. Namun, pada tanggal 10 Oktober 1945, pasukan Sekutu memasuki melalui pelabuhan Teluk Bayur, dan kota tersebut kemudian diduduki selama 15 bulan. Pada tanggal 9 Maret 1950, kota Padang dikembalikan ke tangan Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia (RIS) Nomor 111, setelah sebelumnya menjadi negara RIS. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 225 Tahun 1948, pada tanggal 15 Agustus 1950 Gubernur Sumatera Tengah memutuskan untuk memperluas wilayahnya dengan Surat Keputusan Nomor 65/GP-50. Pada tanggal 29 Mei 1958, dengan Surat Keputusan No. 1/g/PD/1958, Gubernur Sumatera Barat menetapkan Padang sebagai ibu kota provinsi Sumatera Barat secara de facto dan secara de jure pada tahun 1975 ditandai dengan disahkannya undang-undang tersebut. Nomor 5 Tahun 1958. Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Setelah mempertimbangkan segala keinginan dan kebutuhan masyarakat setempat, maka pemerintah pusat mengeluarkan Keputusan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 yang memerintahkan perubahan batas Kota Padang sebagai pemerintahan daerah.
Baca juga:
- Sejarah Sumatera Barat dan Asal Usul Minangkabau
- Upacara Adat di Minangkabau yang Masih Eksis Hingga Kini
- Kelurahan Padang Pasir, Padang Barat, Kota Padang
Dengan Surat Keputusan No. 103 yang dikeluarkan oleh Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 17 Mei 1946, Padang dinyatakan sebagai kota besar.